Kuasa hukum istri Kadiv Propam non aktif Irjen Ferdy Sambo, Putri Chandrawathi, Patra M Zen baru saja muncul ke khalayak. Pada kemunculannya, ia menanggapi pernyataan kuasa hukum keluarga Brigadir J Kamaruddin Simanjutak terkait kasus polisi tembak polisi. Dikutip dari , Patra mengatakan bahwa advokat adalah profesi ahli hukum, bukan ahli sihir.
Selain itu, ia pun menilai pernyataan Kamaruddin membuat rugi kliennya yang kini diduga menjadi korban pelecehan seksual. "Saya ingatkan advokat itu profesi ahli hukum, bukan ahli nujum atau ahli sihir," ujarnya pada Rabu (27/7/2022). "Pernyataan pernyataan saudara Kamaruddin yang saya baca di media itu, seakan akan dia mengetahui fakta dan kebenaran peristiwa," imbuh Kamaruddin.
Patra M Zen merupakan sosok yang lahir di Jakarta pada tahun 1975. Ia dikenal aktivis dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dikutip dari akun LinkedIn yang dimilikinya, ia mengawal pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya pada 1993 dan lulus pada 1998.
Kemudian, ia melanjutkan studinya di University of Essex, Inggris pada 2001 dan selesai setahun kemudian dengan memperoleh gelar LL.M. Di universitas tersebut, dirinya mengambil konsentrasi International Human Rights Law. Ia kembali mnempuh pendidikan untuk memperoleh gelar doktor dengan mengambil konsentrasi Hukum Pidana di Universitas Krisnadwipayana pada 2015 dan lulus lima tahun kemudian.
Saat kuliah S1, Patra M Zen sudah berkecimpung di dunia hukum dengan menjadi aktivis YLBHI untuk Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 1995 1999. Tidak hanya menjadi aktivis di bidang hukum, ia sekaligus menjadi aktivis untuk kepemiluan yang memantau jalannya Pemilu 1999 di Sumatera Selatan yang dimulainya pada tahun 1997 1999. Selain itu, Patra juga sempat menjadi peneliti di organisasi non profit Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA dari tahun 1998 1999.
Berpindah dari Sumatera Selatan, pada tahun 2000, ia menjadi salah satu kuasa hukum di YLBHI Aceh selama delapan bulan. Di tahun yang sama, ia lalu berpindah ke YLBHI pusat di Jakarta sebagai Kepala Divisi Penelitian, Pendidikan, dan Publikasi. Patra pun juga sempat menjadi dokumentalis di Human Rights Centre saat berkuliah di University of Essex di tahun 2001 2002.
Selang empat tahun, Patra juga pernah menjajal bekerja di British Council Indonesia sebagai Indonesian Legal Literacy and Access to Justice Expert and Interpreter selama setahun hingga tahun 2007. Kegiatannya di British Council Indonesia itu juga sempat dibarengi ketika dirinya juga berprofesi sebagai dosen mata kuliah Sistem Hukum Indonesia di Universitas Paramadina dari tahun 2004 2007. Seusai menjadi dosen, Patra M Zen juga sempat bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di tahun 2007 2008.
Adapun kariernya di bidang hukum yakni saat dirinya menjabat sebagai Ketua YLBHI pada 2006. Namun empat tahun berselang, Patra menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya lantaran jenuh. Dikutip dari , ia jenuh karena telah menjadi aktivis YLBHI selama hampir 15 tahun.
Tidak hanya jenuh, Patra menyebut saat itu bahwa dirinya ingin meneruskan program doktoralnya di Australia meski akhirnya menempuh pendidikan di Universitas Krisnadwipayana di Bekasi, Jawa Barat. Setelah itu, Patra kembali menjabat di pemerintahan sebagai penasehat hukum di Kementerian Sekretariat Negara selama tujuh bulan dari Januari Juli 2010. Selanjutnya, ia pun membuka praktik hukumnya dengan nama Patra M Zen and Partners pada tahun 2012 hingga sekarang.
Dalam kariernya sebagai pengacara, salah satu kasus besar yang pernah ia tangani adalah saat menjadi kuasa hukum mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum di kasus mega korupsi Hambalang pada tahun 2011. Berdasarkan rekam jejaknya sebagai pengacara Anas, dirinya sempat meyakini bahwa kliennya tersebut tidak akan dinaikkan statusnya menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini disampaikannya pada 30 Oktober 2012.
Pernyataan tersebut ia lontarkan terkait langkah KPK yang saat itu akan melakukan gelar perkara untuk menetapkan tersangka baru. "Tidak sama sekali. Kami tim kuasa hukum tidak merasa dimaksudkan ke Pak Anas," tuturnya dikutip dari . Selain itu Patra juga tidak banyak berkomentar ketika Anas disebut oleh KPK memiliki bukti yang cukup untuk menjadikan kliennya itu sebagai tersangka.
"Saya tak mau komentari itu," tuturnya. Jauh sebelum pernyataan KPK itu, tepatnya pada 5 Agustus 2011, ia juga menyangkal terkait klaim dari mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazarudin yang memiliki bukti bukti soal keterlibatan Anas dalam tindak pidana korupsi kasus wisma atlet dan Hambalang. "Sampai sekarang (bukti) itu diserahin enggak? Ini Nazarudin raja tipu dari awal," tuturnya dikutip dari .
Adapun klaim tersebut membuat Anas melaporkan Nazaruddin karena tak terima tudingan terlibat korupsi. Pada saat itu, Nazaruddin masih tidak berada di Indonesia dan baru tertangkap sehari setelah Patra menyangkal klaim Nazarudin di Cartagena, Kolombia. Namun di tempat lain, Anas yang menjadi klien Patra dijatuhi hukuman penjara selama delapan tahun, membayar denda Rp 300 juta, dan mengganti uang kerugian negara sedikitnya Rp 57,5 miliar.
Putusan majelis hukum lebih ringan dari tuntuan jaksa yang menuntut Anas dihukum penjara selama 15 tahun, membayar uang pengganti Rp 95,18 miliar hingga dicabutnya hak politik Anas.